Pancasila Dan Energi Memutus Ego Sentrisme

OKU Timur, Opini474 Dilihat

Oleh Bung Budi Tarra Ketua Cabang GMNI OKU Timur

DIUSIA Indonesia yang lebih dari setengah abad  Bung Karno berpidato dengan retorika, dan tegas mengenai rumusan dasar negara Indonesia. Ia yakin betul bahwa Indonesia perlu memiliki weltanschauung (pandangan dunia). Bahwa Indonesia perlu memiliki falsafah hidup yang diistilahkan Bung karno sebagai philosophische grondslag. Bung Karno lantas menyebut dasar negara itu,  philosophische grondslag itu, dan weltanchauung  itu dengan sebutan Pancasila.

Maka 1 Juni adalah penanda waktu yang mesti diingat sebagai salah satu momentum terpenting sejarah Indonesia. Bahwa ditanggal itu, dan di bulan itu Pancasila lahir sebagai landasan atas dasar apa negara Indonesia dibangun. Yakni lima dasar sebagaimana arti Pancasila: prinsip kebangsaan indonesia, prinsip perikemanusiaan, prinsip permusyawaratan dan mufakat, kesejahtraan sosial dan prinsip ketuhanan.

Bung Karno menjabarkan ke lima prinsip dengan begitu kompleks dan jelas, juga dengan penuh keyakinan. Peluh dan sesak ini adalah sisa-sisa ikhtiar untuk Merdeka, dan mesti terbayar dengan berdirinya negara bangsa Indonesia, sesegera mungkin.

Progesivitasnya memang nampak dalam pidatonya: ia tergesa-gesa. Setiap persoalan bangsa adalah hal ihwal yang mendesak. Tak perlu jelimet, menurutnya demi sebuah kemerdekaan. Sebab merdeka adalah sebuah proses dan disitu intinya: hal-hal kecil, yang jelimet itu bisa diselesaikan pasca Kemerdekaan. Yang penting merdeka dulu!

Tapi kiranya tak begitu jelas sampai sejauh mana suatu bangsa dikatakan merdeka. Disini Bung Karno berpendapat seperti ini, “Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama Merdeka”.

Namun soal Merdeka tak hanya berhenti sampai berdirinya NKRI saja. Ibarat membangun sebuah rumah, tak cukup kiranya jika perabotan-perabotan rumah belum tertata dengan baik. Mungkin Indonesia merdeka. Bangunan negaranya telah berdiri dan diakui. Pemerintah, sistemnya dan puluhan juta rakyat hidup di dalamnya. Namun cukupkah kiranya dikatakan sebenar-benarnya merdeka jika seisi negara belum tertata apik?

Barangkali di sinilah Pancasila memiliki fungsi. ia dirancang menjadi landasan  untuk tertatanya segala hal-hal yang jelimet, seperti kesejahteraan rakyat, kerukunan berbangsa dan bernegara, toleransi beragama, berkeadilan dan seterusnya.

Tapi sejauh mana Pancasila dapat mempertahankan cita-citanya yang luhur? Sejauh kita memandang pancasila sebagai weltanchauung, maka di situ melekat potensi kekuasaan yang sangat rentan. Kesalahan orde baru terletak di situ. Yakni, menjadikan pancasila sebagai pandangan dunia yang kaku dan tertutup. Pancasila dimasa itu hanya benar sejauh ia berada dalam tafsir penguasa. Dan di luar dari itu adalah penghianatan ideologis.

Begitu hegemoniknya Pancasila diberlakukan, hingga ia menjadi senjata indoktrinasi di setiap elemen masyarakat. Mulai dari sekolah sampai universitas, dari individu sampai ormas, meski harus menggunakan cara-cara kekerasan.

Pada akhirnya pancasila ala orde baru hanyalah sebatas perangkat ideologis untuk membenarkan praktik-praktik kekuasaan. di sepanjang titimangsa, pandangan dunia memang selalu menjadi narasi yang tertutup. Kita tahu fasisme dan kita tahu komunisme, hikayat yang kelam di silang sengkarut sejarah.

Pancasila Dan Ideologi Memutus Posisi

Barangkali di masa orde barulah mulanya kekecewaan muncul, hingga orang-orang mulai mencari pandangan dunia alternatif. Di Indonesia sudah tak asing lagi terhadap adanya suatu golongan yang ingin mendirikan negara islam. di sisi lain, paham wahabisme mencoba masuk membawa petaka perpecahan umat islam.

Dan inilah yang terjadi: Pancasila mau tak mau harus berhadapan dengan gelombang Welta nchauung lain yang pada akhirnya justru mengulang banalitas orde baru. Mereka menawarkan pandangan dunia yang juga sama tertutupnya, sama kakunya.

Dunia abad-21 ini memang sedang dalam merancang kisah tragedi di tanah timur tengah. Di sana sedang berlangsung gejolak yang amat tragis: Palestina vs Israel, Suriah-Iraq vs ISIS, dan entah apa dan siapa lagi selanjutnya. Dan Indonesia justru mendapat imbas dari badai timur tengah dengan membawa persoalan yang begitu pelik: persoalan pandangan dunia.

Pendukung negara Islam-Khilafah—apa pun nama golongan itu— ingin agar pandangan dunia Islam mengisi sistem negara secara keseluruhan, sambil tak mau peduli kalau di Indonesia berkumpul agama-agama lain yang dari dulu sudah hidup beragam.

Di sudut pergulatan yang lain ada wahabisme yang mencoba menyebarkan paham islam ekslusif, memperluas kultur islam arab, sembari menaklukkan golongan islam yang berbeda paham dengannya. Meski golongan wahabi tidak dengan terang-terangan menumpas pancasila, namun praktek ideologis mereka justru sangat anti Pancasila: meluluhlantakkan kebhinnekaan.

Beginilah jadinya jika pandangan dunia telah di butakan oleh totalitas ego yang akut. Suatu kelompok akan merasa paling legitimate. Tatkala pandangan dunia telah dikeramatkan dan telah di anggap saktimandraguna, maka akan menciptakan relasi-oposisi yang sangat tajam, merasa pahamnya yang lebih absolut, yang lebih benar dari yang lain.

Dalam situasi seperti ini, apakah kita mesti mengafirmasi kembali pancasila? Meskipun orang bisa berkelit, aaaahhh, Pancasila juga pernah otoriter, atau pancasila juga rentan menjadi narasi tunggal yang menindas perbedaan. Tapi itu tidak sepenuhnya benar.

Pancasila memang pernah mengalami masa-masa kelam seperti itu. Tapi sekiranya kita tetap menghendaki pancasila justru karena ia sebenarnya adalah pandangan dunia yang begitu cair: mengakui perbedaan dan memperjuangkannya.

Dalam  prinsip kebangsaan indonesia. Bung Karno mengatakan: “Indonesialah tanah air kita, Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!”

Sedang dalam prinsip Ketuhanan Bung Karno Menegaskan:

“Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”.

Pun, kita menghendaki pancasila karena ia adalah pandangan dunia yang justru menghendaki keterbukaan dialog:

“Tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok”

Demikianlah yang ditegaskan oleh Bung Karno dalam prinsip musyawarah dan mufakat. Bahwa setiap orang bahkan setiap kelompok boleh berbeda paham, tapi sejauh perbedaan itu bergulat dalam ruang musyawarah, kiranya tak ada masalah dalam hal ini.

Inilah Pancasila yang sebenarnya: menerima “ke-lain-an” dan mengafirmasi “ke-kita-an”. Kita mesti mengamalkan titahnya saat narasi tunggal yang angkuh hadir dengan jumawa, dan merasa dirinya yang paling benar.

Kita mesti mengamalkan titahnya saat kesewenang-wenangan dipertunjukkan oleh narasi tunggal yang merasa mewakili perintah Tuhan, sampai bersikap bengis dengan membawa-bawa nama Tuhan. Kita mesti mengamalkan titahnya saat narasi tunggal yang egosentris ingin diterima dan diakui sebagai pembawa kebenaran Tuhan tanpa mau dialog.  

Begitulah tegasnya. Mereka mesti tahu bahwa menerima “ke-lain-an” dan mengafirmasi “ke-kita-an” adalah prilaku yang oleh Levinas disebut sebagai momen etis. Bahwa “sang lain” bukanlah bagian dari totalitas yang “saya” dan “kamu” ciptakan. Ia memiliki eksteriornya sendiri, dan di situlah intinya: saat menjumpai “sang lain”, mestinya adalah undangan moral untuk kita menyapa, dan membentuk sebuah relasi kekerabatan.

Bukankah sudah cukup saat Tuhan mengatakan seperti ini :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat:13 )

Catatan : Segenap kutipan Bung Karno diambil dari pidatonya yang barjudul Lahirnya Pancasila.

Komentar