Oleh : Almuhajirin, M.Pd Merupakan Dewan Pengarah Pemuda Tani HKTI Sumsel.
Dalam khazanah Islam khususnya bagi pecinta jalan sunyi atau tasawuf, nama Maulana Jalaluddin Rumi tentunya tidak asing di telinga, bahkan paling tidak sosok itu telah menjadi barometer sufistik dalam beberapa dekade belakangan ini. Banyak sekali informasi yang diberikan oleh Maulana Jalaluddin Rumi dalam pergulatan spiritualnya untuk mengungkapkan emosinya terhadap sang Haqq, Allah Swt. Setidaknya Rumi menguraikan pergulatannya dalam tulisan-tulisan yang hari ini dengan mudah kita baca seperti Fihi Ma Fihi, Matsnawi-i-Ma’anawi, Diwan dan masih banyak goresan tinta Rumi lainnya. Maulana Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair yang setiap bait-bait katanya mengandung makna filosofi dan misteri. Dimana setiap bait-bait dalam syairnya selalu menyita emosi. Jalaluddin Rumi lahir tanggal 06 Rabiul Awal 604 H atau 30 September 1207 M, ia dilahirkan di Balkha, salah satu kota di daerah Khurasan yang terletak di wilayah perbatasan Afganistan.
Metode yang ditempuh oleh Rumi adalah jalan cinta, cinta kepada Tuhan dan Rasulullah saw. Apakah jalan ini salah? Tentunya tergantung seseorang menyikapi dan memaknainya. Banyak cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bisa melalui jalan sosial, jalan jihad, jalan dakwah, jalan politik, jalan menebar kebaikan, jalan amar ma’ruf, jalan nahi munkar, dan jalan cinta seperti Rumi. Nurcholish Madjid dalam Pintu-Pintu Menuju Tuhan, menginterpretasi Surat Yusuf ayat 67 yang berbicara tentang “pintu” yang majemuk, dan menurut Cak Nur ayat tersebut agaknya bisa ditafsirkan sebagai seruan untuk pendekatan apa pun yang tidak tunggal. Termasuk jalan sufi ini.
Dalam Hadits Riwayat Bukhari Rasulullah bersabda “Siapa yang selalu mendirikan shalat akan dipanggil dari pintu shalat. Siapa yang ikut berjihad, ia akan dipanggil dari pintu jihad. Dan barang siapa yang melaksanakan puasa akan dipanggil dari pintu yang memancarkan air yang segar. Dan, barang siapa yang selalu memberikan sedekah maka ia akan dipanggil dari pintu sedekah’. Hadits ini tentulah menjadi motivasi bagi kaum muslim, termasuk para salik (pelaku sufi) untuk memilih jalan sunyi atau tasawwuf.
Secara etimologi ulama berbeda pendapat mengenai pengertian tasawwuf ini, yang terurai sebagai berikut. Tasawwuf berasal dari bahasa Arab; at-Tashawwuf yang merupakan mashdar (kata kerja yang dibendakan) yang dibentuk dari kata shawwaffa yang berarti memakai wol. Dari kata tersebut, lahirlah sebutan Shufi untuk orang Islam yang menjalani kehidupan sufistik. Mengapa kain wol? Sebagian kalangan mengatakan bahwa para sufi sangat gemar memakainya sebagai simbol zuhud dan kehidupan yang keras. Dinamakan demikian karena kepasrahan seorang sufi kepada Allah ibarat kain wol yang dibentang.
Disamping itu, ada yang berpendapat bahwa kata tasawwuf berasal dari kata shaff (saf). Seolah para sufi berada di saf pertama dalam menghadap diri kepada Allah dan berlomba-lomba untuk melakukan ketaatan.
Dan kata tasawwuf berasal dari kata shuffah yakni serambi masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat Rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang ikut pindah dari Mekah ke Madinah bersama Rasulullah yang kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin, dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di Masjid Rasulullah dan duduk di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana itu disebut shuffah.
Secara terminologi, Zakaria al-Anshari dalam Syaikh Abdul Qadir Isa menyatakan bahwa tasawwuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Imam Junaidi berkata “Tasawwuf adalah berakhlak luhur dan meninggalkan semua akhlak tercela”
Tasawwuf sering juga disebut sebagai mistisme dalam Islam. Untuk mengurai makna mistik Islam ini sebagian orang harus bertanya-tanya dahulu apa makna mistik ini. Sudah pasti dalam kata mistik itu terkandung sesuatu yang misterius, yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual saja. Secara garis besar ada dua teori yang muncul tentang tasawuf, pertama teori yang berasal dari ajaran atau unsur Islam dan teori yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari unsur lain di luar Islam. Para orientalis Barat mengatakan bahwa tasawwuf bukan murni dari ajaran Islam, sementara para tokoh sufi mengatakan bahwa tasawwuf merupakan inti ajaran Islam. Ignaz Goldzhier seorang orientalis Barat mengatakan bahwa tasawwuf berasal dari peleburan berbagai macam aliran keagamaan yang bersentuhan dengan Islam seperti Nashrani yang mementingkan kehidupan zuhud dan fakir. Bahkan Ignaz Goldzhier mengatakan kehidupan zuhud dalam ajaran tasawwuf hasil dari hegemoni rahib-rahib Kristen, begitu pula pola kehidupan fakir merupakan salah satu ajaran yang terdapat dalam Injil. Masih menurut Ignaz Goldzhier bahwa ajaran tasawwuf juga banyak dipengaruhi oleh ajaran Budha, hal ini ia lihat dari persamaan kaum sufi yang menggunakan tasbih sebagaimana yang digunakan oleh para budha. Kemudian dalam konteks fana dan nirwana, Harun Nasution mengatakan bahwa agama Budha mengajarkan pemeluknya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif, hal ini sama juga dengan konsep tasawwuf yang memandang bahwa dunia ini adalah fana.
Sebagai antitesa dari beberapa pernyataan tokoh orientalis Barat diatas, Annemerie Schimmel menyatakan bahwa tarekat yang ditempuh oleh para sufi dan digambarkan berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan kaum sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi. Ajaran tasawwuf dalam Islam juga berasal dari Alqur’an dan As-Sunnah.
Annemerie Schimmel memang seorang Orientalis Barat, akan tetapi ia juga merupakan pengagum berat tasawwuf, dalam hal ini ia menempatkan Maulana Jalaluddin Rumi sebagai maha guru yang sangat agung. Menurut Rumi bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan adalah cinta. Cinta adalah kekuatan kreatif paling dasar yang menyusup ke dalam setiap makhluk dan menghidupkan mereka. Cinta pula yang bertanggung jawab menjalankan evolusi alam dari materi anorganik yang berstatus rendah level menuju level yang paling tinggi pada diri manusia. Selanjutnya, cinta menurut Rumi bukan hanya milik manusia dan makhluk hidup lainnya tapi juga semesta. Cinta yang mendasari semua eksistensi ini disebut cinta universal. Cinta ini pertama kali muncul ketika Tuhan mengungkapkan keindahan-Nya kepada semesta yang masih berada di alam potensial. Keindahan cinta tidak dapat diungkapkan dengan cara apapun, meskipun kita memuji-Nya dengan seratus lidah.
Konsep tasawwuf Rumi terhadap sang Haqq telah membuai kita seolah-olah jalan mencintai Tuhan melalui tasawwuf sangat indah. Tentunya kita boleh mendayagunakan akal dan hati kita tentang konsep ber-Tuhan metode Rumi untuk kemudian bertanya dan menjadikannya sebagai bahan diskursus. Kalau memang jalan tasawwuf ini sangat agung di mata manusia dan Tuhan, tentu saja Rasulullah saw telah mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya dan pasti mengabadikannya dalam perkataan-perkataan beliau atau hadits.
Kita patut bertanya secara mendalam dan terus menggali tentang apa dan bagaimana tasawwuf itu sendiri, karena sebagai bahan renungan bahwa term tasawwuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad II Hijriah, sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan askestis atau para zahid yang mengelompok di serambi Madinah. Tapi jauh sebelum para zahid ini melakukan pengelompokkan tersebut, sebenarnya Rasulullah sebelum beliau diangkat menjadi Rasul pun, kehidupan beliau sudah mencerminkan ciri dan prilaku kehidupan sufi. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya yang sangat sederhana, disamping menghabiskan waktu untuk beribadah kepada Allah swt. Sebelum beliau menerima wahyu pertama kali, beliau sudah seringkali melakukan kegiatan sufi, yakni dengan beruzlah ke Gua Hira selama berbulan-bulan sampai akhirnya beliau menerima wahyu pertama dan diangkat oleh Allah swt sebagai rasul pada tanggal 17 Ramadhan tahun pertama kenabian.
Adapun manifestasi tasawwuf dari Rasulullah adalah kehidupan beliau sangat sederhana dan meninggalkan kehidupan mewah bertujuan memberikan contoh bagi para sahabat dan ummatnya. Segala sesuatu dalam kehidupan beliau menunjukkan hidup sederhana, termasuk juga perabot rumah tangga, makanan, minuman, dan pakaian yang digunakan sehari-hari. Sahabat Ibnu Mas’ud meriwayatkan, ia pernah masuk ke rumah Rasulullah dan didapatinya beliau sedang berbaring di atas sepotong anyaman daun kurma yang memberi bekas di pipinya. Dengan sedih Ibnu Mas’ud bertanya “Ya Rasulullah, apakah tidak lebih baik aku mencari bantal untukmu?”. Rasulullah menjawab, “tidak ada hajat untukku. Aku dan dunia adalah laksana seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di saat matahari sangat terik di bawah naungan sebuah pohon kayu yang rindang, untuk kemudian berangkat dari sana kearah tujuannya.”
Informasi dari Ibnu Mas’ud diatas menunjukkan bahwa Rasulullah saw telah terlebih dahulu mempraktikkan ajaran sufi dan diikuti oleh para sahabat dalam kehidupan sehari-hari, meskipun mereka tidak menamakan diri sebagai orang sufi. Hari ini kita mengenal istilah, konsep dan ajaran tasawwuf tapi kita tidak melihat secara konkret praktiknya, hal ini kontradiksi dengan zaman Rasulullah yang tidak mengenal istilah sufi tapi perilaku keseharian mereka sangatlah sufistik. Hal inilah yang membedakan Rasulullah berbeda dengan manusia biasa, Rasulullah mencontohkan dengan perilaku dan tauladan, karena selain seorang misionaris Tuhan, Rasulullah juga sebagai seorang revolusioner dalam ukuran manusia.
Hari ini, kita harus berani dan jujur mengkoreksi diri sendiri, sebagai orang yang mengklaim diri pengikut dan umat Rasulullah saw, apakah orientasi hidup dan praktik hidup kita sudah sesuai dengan indikator sufisme Rasulullah. Tentu saja belum, karena kita lebih takut lapar, lebih takut tidak terlihat sebagai orang yang mewah, takut dipandang sebelah mata oleh manusia, takut dikatakan tidak sama dengan kebanyakan manusia hari ini yang muara hidupnya lebih materialistik dan eksistensi atau pamor.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa sekali lagi banyak cara untuk menuju Tuhan. Perkara apakah nantinya kita akan dimasukkan ke Surga karena usaha-usaha kita untuk mendapatkan ridho-Nya atau dimasukkan ke Neraka karena akibat kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, semua itu adalah hak progreatif Allah sang Robbul Jalil. Tugas kita hanya beribadah, mempelajari dan mencintai ajaran Allah dan Rasulullah, serta berusaha selalu berbuat baik.
Semoga tulisan ini menjadi bahan renungan buat kita terutama penulis, dengan momentum Maulid Nabi 1443 H tidak hanya sekedar peringatan seremonial dan pengulangan tentang romantisme sejarah Rasulullah saw belaka, akan tetapi sedikit demi sedikit mampu memahamkan kita tentang orientasi hidup seorang muslim, pengikut Rasulullah saw.
Selamat Maulid Nabi 1443 H.
Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad.
Shollu ‘Alaihi Wassallim.
Komentar