Oleh: Al-Mahfud
Seorang anak kelas 2 SD di Gresik buta karena ulah kakak kelasnya. Di Cilacap, pelajar SMP harus dirawat di Rumah Sakit setelah mendapatkan kekerasan dari teman-temannya. Sementara itu di Demak, seorang guru Madrasah Aliyah mengalami luka serius karena diserang seorang murid di hadapan siswa yang lain.
Kabar-kabar tentang terjadinya perundungan dan kekerasan di lingkungan pendidikan yang terjadi sepanjang bulan September 2023 tersebut merupakan alarm keras bagi dunia pendidikan kita. Bukan tidak mungkin, kasus-kasus serupa juga banyak terjadi di daerah-daerah lainnya.
Menurut data Yayasan Cahaya Guru (YCG) sejak awal tahun 2023 hingga bulan September telah terjadi 93 kasus kekerasan di lingkungan sekolah dengan berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari diskriminasi, intoleransi, kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, dan bentuk lainnya.
Sedangkan data KPAI hingga Agustus 2023 telah menemukan setidaknya ada 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak. Kasus kekerasan seksual sebanyak 487 kasus, kasus kekerasan fisik/psikis 236 kasus, kasus perundungan 87 kasus.
Berdasarkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi tersebut, kita melihat beragamnya bentuk-bentuk kekerasan dengan berbagai latar belakang atau sebab. Tentu setiap kasus butuh penanganan yang tepat, baik kepada korban dan kepada pelaku. Di sini, kita mengharapkan penanganan adil, berfokus pada pemulihan korban serta bisa memberikan efek jera kepada pelaku.
Selain itu, penting untuk mencari penyebab dan faktor yang mendorong anak atau siswa melakukan kekerasan. Rasa marah, kecewa, dan berbagai bentuk emosi anak perlu diselami, diarahkan ke hal yang positif dan jangan sampai melahirkan tindakan kekerasan. Sikap senioritas yang mendorong perilaku semena-mena harus dihilangkan, diluruhkan dengan sikap saling menghargai sesama.
Impementasi PPKSP
Seperti diketahui, Kemendikbudristek telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Regulasi ini bertujuan mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan pendidikan demi menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, berkebinekaan, dan aman bagi semua murid, guru dan tenaga pendidik.
Menurut aturan dalam PPKSP, setiap sekolah harus membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Selain itu, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota membentuk Satuan Tugas (Satgas).
Jika mencermati tentang bagaimana PPKSP meregulasi penanganan kasus kekerasan, memang terlihat detail. Dipaparkanb tahapan penanganan mulai dari penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan, dan pemulihan. Penanganan yang tepat, adil, empatik, hingga pemulihan korban, semua diterangkan dengan jelas (merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id).
Kita berharap agar PPKSP tersebut diimplementasikan dengan konsisten. Sebab membangun kesadaran dan budaya anti kekerasan tak bisa diciptakan secara instan. Semua pihak, baik sekolah, Pemda, keluarga, hingga masyarakat luas perlu kesadaran bersama untuk membangun ruang dan lingkungan pendidikan anak yang aman tanpa kekerasan.
Pendidikan karakter
Ketika berbicara tentang kekerasan, maka pencegahan yang paling mendasar tentu adalah bagaimana menanamkan pendidikan karakter pada anak. Salah satu poin dalam mekanisme pencegahan kekerasan yang diatur PPKSP dalam hal edukasi adalah satuan pendidikan melaksanakan penguatan karakter melalui implementasi nilai Pancasila dan menumbuhkan budaya pendidikan tanpa kekerasan kepada seluruh warga satuan pendidikan.
Implementasi nilai Pancasila harus benar-benar membentuk karakter siswa. Ini adalah tentang bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai dalam “Profil Pelajar Pancasila” dalam watak, sifat, dan karakter setiap anak. Tentang bagaimana menanamkan empati, tenggang rasa, toleransi, dan kepedulian pada sesama. Sehingga nilai-nilai tersebut benar-benar menjadi watak dan insting setiap individu yang kemudian berbuah dalam setiap sikap, tindakan dan perilaku keseharian.
Menumbuhkan budaya pendidikan anti kekerasan adalah kerja bersama. Selain membimbing dan mengajarkan, di saat bersamaan pendidik harus memberi teladan tentang bagaimana bersikap dan berperilaku. Segala bentuk interaksi di lingkungan sekolah, baik antarguru, antara guru dan murid, antara murid dan murid, mesti dibangun dengan nilai-nilai anti kekerasan. Sehingga, terbangun ekosistem budaya sekolah yang aman dan nyaman bagi perkembangan anak.
*Penulis, peminat topik-topik pendidikan.
Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media massa.
Komentar